Kamis, 06 Oktober 2011

Wawancara dengan Seto Mulyadi

Wawancara dengan Seto Mulyadi

Saat ini, peraturan Indonesi sudah mengakomodir kepentingan anak?

Tampaknya sih belum, masih banyak peraturan yang belum mengakomodir kepentingan anak.boleh dikata anak masih banyak yang dilanggar. Baik di dalam keluarga, instansi pendidikan bernama sekolah, di masyarakat. Masih banyak terjadi pelanggaran hak-hak terhadap anak. Harus segera dipecahkan dengan sangat serius.

Tentang keluarga?

Misalnya, paradigma yang keliru dari begitu banyak orang tua mengenai anak sehingga seolah anak adalah hak milih. Jadi ketika menyuruh anak, baik itu tentang disiplin, belajar, ibadah agama, kadang2 dengan cara yang tidak kondusif.

Seharusnya kayak Qoryah Thoyyibah?

Iyalah, artinya bagini lho. Tolonglah pendidikan ini jangan dianggap kayak robot. Trek diukur, trek begini, gak lulus, begitu. Tidak sesederhana itu. Pendidikan itu
kan sesuatu yang sangat luas, sesuatu yang sangat fleksibel. Anak-anak ini tolong dianggap sebagai manusia bukan sekedar angka-angka atau mesin2 belaka.

Kekeliruan kita dengan adanya UAN ini adalah anak2 seolah dianggap sebagai mesin. Begitu teng, tidak lulus dengan selisih hanya 0,03, 4,23 (harusnya 4,26) misalnya, teng, tidak lulus.dan hal itu menentukan nasibnya ke depan. Ini kan memesinkan manusia dengan menganggapnya angka2 belaka.

Bagaimana dengan system penilaian sekartang dengan kualitatif dan kuantitatif, belum cukupkah?

Artinya begini, seyogyanya angka2 tersebut hanya sebagai alat pemetaan saja. Untuk melihat sejauh mana kemajuan dan perkembangan anak. Yang lebih penting adalah evaluasi terhadp UAN, tapi jangan jadikan hasil itu sebagai penentu nasib anak ke depan (manusia). Itu yang keliru.

Bagaimana dengan peran Badan standardisasi pendidikan nasional?

Mohon, sebaiknya menurut saya, dikembalikan lagi kepada masyarakat badan standar ini. Mulai dari pantaskah orang2 tersebut disana. Jika tidak, silahkan masyarakat yang tentukan orang2nya. Jangan ditentukan oleh menteri.

Ada usulan dari badan standar?

Kita masih tetap mencoba dengan system ini, tatepi tetap mendengarkan suara dari pemangku kepentingan pendidikan. Pemangku kepentingan pendidikan ini banyak, yang belum dilibatkan adalah anak2. apakah kita mendengar suara anak2 juga. Seyogyanya itu juga dilibatkan. Itu yang disebut dengan anak korban sekolah.

Bagaimana dnegan penyeragaman daerah2?

Ya, inikan evaluasi. Kalau prosesnya juga berbeda, sarana dan prasarana, pendidik berbeda, isi kurikulum. Evaluasinya lebih mengedepankan pada kepentingan terbaik bagi anak. Ya itu, yang lebih memahami adalah gurunya, sebagai pendidik.

Sebenarnya keinginan anak2 terhadap pendidikan itu apa?

Pengertian pendidikan adalah mengeluarkan dan memberdayakan potensi unggul anak yang saling berbeda. Jadi pendidikan itu ibarat menyediakan tahan yang subur bagi tumbuhnya bunga2 elok bangsa yang beragam ini. Kalo ini tidak, ya saying sekali. Ini yang harus mendapat kesempatan untuk bnerkembang.

Ada model usulan untuk menciptahan lahan tersebut?

Perlunya pemahaman dari para pendidik bahwa anak2 ini adalah ibarat bunga2 yang elok itu. Mawar, melati, anggrek. Mana yang paling indah? Semuanya indah. Mana yang paling pintar? Bukan hanya yang pintar matematika saja disebut pintar.
Ada yang pintar mengaji, olahraga, kesenian, dan mungkin belum terukur dalam UAN. Hal ini yang tampaknya yang belum dipahami oleh banyak para pendidik.

Sementara depdiknas mengatakan banyak tenaga pendidik yang belum layak mengajar. Nah, seyogyanya pengertian layak mengajar juga bukan hanya sekedar dilihat dari prestasi akademik, missal dari gelar kesarjanaan. Bukan hanya itu.

Tapi juga dilihat dari bagaimana kecintaan mereka terhadap anak. Bagaiman mereka mempunyai cara2 yang tepat untuk mengajae. Walupun bergelar guru besar sekalipun. Kalau menjadi guru SD dan TK harus mengerti psikologi anak dan hak anak.

Pendidik yang sudah memenuhi standar untuk menjadi pendidik di Indonesia?

Kalau saya boleh kira2, dari hasil pengamatan di berbagai daerah, mungkin baru sekitar 20 persen. Hal ini tidak usah membuat kita kecil hati, teruslah dikembangkan. Tetapi, kalau kita ingin meningkatkan kualitas pendidikan, itu dulu yang dibenahi. Tenaga2 pendidikan. Kesejahteraannya, pendidikannya, dsb. Bukan dengan mengadakan ujian nasional.

Yang sekarang terjadi justru banyak jalan pintas, seperti yang saya tulis di KOMPAS. Banyak manipulasi, korupsi. Solusinya banyak model sekolah alternatif semisal qoryah thoyyibah. Coba deh kita lihat disana, sekolah yang memanusiakan manusia, mereka belajarnya bikin desertasi, wah semangat. Apa itu tercermin dari anak didikan UAN? (dengan nada tinggi) Tidak, bimbingan belajar semua itu. Hehehe.



Hal yang pertama harus dibenahi?

Hal ini bukanlah disikapi dengan reaksi, yuk kita rapat yuk. tetapi dengan kepala dingin, sebenarnya hendak dibawa kemana pendidikan kita ini. Nah kita duduk bersama, mendengarkan pendapat, siapapun juga. Apakah itu pejabat, GSMT, atau siapaun juga. Duduk bersama untuk mencari masukan2 berharga. Termasuk juga dari anak2. maksudnya SMP dan SMA. Mereka kan sudah bias berpikir dan mempunyai pendapat.

Hal itu diantara yang akan dibicarakan dalam kongres anak nasional bulan juli nanti. Salah satunya adalah tentang UAN dan kurikulum pendidikan. Kita dengarkan, sehingga semuanya merupakan hasil perpaduan dari kepentingan terbaik bagi dunia pendidikan di
Indonesia.



Sebenarnya apa saja jeritan hati anak2 sekolah yang sampai saat ini kak seto dengar?

Karena misalnya pendidikan lebih kepada kewajiban, wajib belajar. Lho anak2 itu pada seneng belajar kok. Coba liat deh dari kecil. Seneng sekali belajar kan? Tapi manakala belajar menjaid sesuatu yang sifatnya kaku, paksaan, kewajiban, tekanan, maka jadilah anak2 robot2. itu menjadi tidak menyenangkan lagi. Akhirnya anak nggak seneng belajar. Dan jadi phobia terhadap pelajaran dan sekolah. Hari ini bilang sakit perut, kepala, gigi, ada aja alasan untuk tidak sekolah.

Dunia anak = dunia belajar atau dunia bermain ?

Dunia bermain, tetap itu. Tapi sambil bermain itu dia belajar sangat efektif. Coba lihat deh, anak2 kecil di jepang kenapa tiba2 pintar bahasa jepang. Di Yogya, kecil2 pintar bahasa Jawa. Di prancis, jerman, dan lainnya. Karena belajar bahasanya sambil bermain
kan? Kan tidak duduk, ini ibu pergi ke pasar, ini subyek, ini predikat. Kan tidak begitu
kan?

Dia bilang dari bahasa sederhana ribuan kali sambil bermain. Sehingga ia menguasai bahasa dengan sangat sempurna. Itu saja, belajar yang efektif adalah belajar yang meneynangkan.



Salahkan pola piker orang tua yang menganggap anak2 seperti orang dewasa dengan bermacam2 les?

Salah sekali, itu bukan belajar. Itu bekerja. Anak kecil sejak kecil sudah diajari untuk bekerja. Bekerja untuk apa? Untuk gengsi orang tua. Sebenarnya, mereka seneng kok belajar. Coba missal sekolahnya di alam, seperti sekolah alam di bandung. Besok anak2 pakai baju yang paling jelek. Kenapa bu guru. Besok kita main Lumpur. Wah mereka senang, bermain2. tapi tahu2 dia belajar fisika, kimia, agama.

Ini Lumpur ciptaan siapa, ciptaan Allah tanpa disadari, karena mereka bermain. Sehingga sesuatu yang dibertikan secara terpadu membuat mereka motivasinya menjadi internal. Motivasi dari dalam bahwa belajar itu menyenangkan.



Bagaimana dengan posisi orang tua?

Orang tua hendaknya menyadari bahwa anak2 tidak bias dipaksa. Anak2 bukan robot. Ciptakanlah suasana bermain saja. Tidak usah anak2 lah. Kita lihat berbagai macam pelatihan, ESQ, ari ginanjar. Saudara2 kita siap menjadi anak2, kita bermain. Anthony robin, pelatihan yang begitu besar. Pelatihan kreativitas di Buffalo, ayo kita bermain. Lho mereka yang gede2 aja disuruh bermain, lha ini kok anak yang kecil2 disuruh belajar keras seperti professor. Ini kan kebalik2.

Kekerasan di masyarakat?

Anak jalanan yang dipaksa. Apa peduli pemerintah? Mana kepedulian pemerintah. Gak jauh dari lampu merah depsos itu banyak. Tentu pak menteri lihat, pak dirjen lihat. Apa yang dilakukan. Dimana2. walikota, bupati, lihat semua. Tapi mana? Jadi masih paradigma ini yang terjadi, anak2 dibiarkan dan gak papa.



Jumlah anak jalanan?

Beragam jenisnya, tapi diperkirakan lebih dari 500ribu anak. Dengan data yang beragam. Pekerja anak sekitar 5 juta, anak2 yang harus bekerja terkadang di tempat yang tidak manusia. Anak di nias dan aceh, kecil2 harus menjadi buruh anak membongkar bangunan rusak karena gempa. Ini juga di Yogya sudah mulai banyak. Belum lagi di pertambangan dan perikanan. Bekerja di Jermal, lepas pantai, sumatera utara. Penuh dengan berbagai kekerasan yang tidak manusiawi terhadap anak2.

Batas usia anak2?

Sesuai dengan konvensi hak anak atau convention on the right of the child adalah 18 tahun ke bawah. Angka ini juga diadopsi oleh UU perlindungan anak. Jadi mereka yang masih berusia 18 tahun ke bawah adalah anak2 termasuk yang dalam kandungan. Itu yang dilindungi oleh UU.



Kesempatan anak
Indonesia untuk mengenyam pendidikan?

Masih banyak kendala. Anak putus sekolah masih mencapai 12 juta anak. Kompleks sekali permasalahnnya. Tahun lalu ada kongres anak yang mendesak kepada prseiden untuk membentuk kementrian khusus perlindungan anak. Hal ini sampai sekarng saying sekali belum mendapat tanggapan. Apapun juga hal ini sudah mendesak, karena anak2 tidak bias menunggu. Butuh kementrian khusus yang betul2 memberi perhatian yang serius terhadap anak dengan dana yang cukup besar.

Terbanyak usia SD. Kebanyakan karena kemiskinan. Kita bias melihat di tengah2 kita masih banyak yang korupsi ratusan miliar. Nah ini yang harus menjadi perhatian dari pemerintah. Sehingga dana2 yang diselewengkan bias untuk dana anak2 dan anggaran pendidikan yang telah diamanatkan konstitusi. Bagaimana realisasinya?



Agar kesempatan belajar terbuka bagi anak2 miskin dan terlantar, apa upayanya?

Jangan ini dianggap sebagai wajib belajar. Tapi lebih diarahkan kepada hal itu adalah kewajiban pemerintah untuk menyediakan kesempatan belajar bagi anak2 dengan 9 tahun ini. Dapat dilakukan dengan mebuka peluang pendidikan2 alternatif. Seperti qoryah thoyyibah, home schooling. Hal itu dimungkinkan melalui jalur pendidikan luar sekolah, informal dan nonformal. Sehingga anak2 dimanapun juga, apakah anak jalanan, buruh anak, korban bencana, tetap mendpatkan haknya untuk belajar dengan cara yang tepat dan menyenangkan.

Peran serta masyarakat?

Hal itu harus dituntut. Dirangsang dan diberdayakan oleh pemerintah. Dipermudah izin2nya. Sekarang masih tidak diakui. Contohnya, kendala ujian nasional kesetaraan, paket A, B, dan C, di beberapa perguruan tinggi masih tidak diakui, ditolak. Itu tidak bener. Yang penting anak bias masuk, bias kuliah itu. Jangan dilihat dari ijazahnya. Kalau kita sudah menyelenggarakan ujian nasional kesetaraan dan itu diakui UU sisdiknas sama dan setara dengan ujian formal, maka harus diterima.

Upaya KOmnas anak?

Komnas anak ini kan hanya sebagai lembaga advokasi.kita hanya mencoba mengadvokasi berbagai kebijakan yang kurang berpihak kepada anak, melobi dan mengkritisi. Ini yang dimainkan oleh KOmnas anak. Bukan sebagai penyelenggara.

Missal, komnas menempatkan salah satu anggotanya di dalam badan standar nasional pendidikan dengan harapan bias menyuarakan harapan2 anak2. kenyataannya memang sangat merugikan, karena hasil ujian ini kan penuh masalah.



Regulasi yang tidak berpihak pada anak…?

Kalo aturannya tidak benar, kami mendesak untuk segera di amandemen. Missal, UU no 3 tahun 1997 tentang peradilan anak. Dikatakn pada pasl 4, anak usia 8 tahun sudah bias diajukan ke pengadilan. Padahal ini bertentangan dengan
Beijing rules, kesepakatan internasional yang menetapkan bahwa untuk bias diajukkan ke pengadilan usia minimalnya adalah 12 tahun. Hal ini yang kita harapkan kepada DPR untuk segera di amandemen.

Ada beberapa lagi yang lain, missal UU kependudukan yang mencantumkan status dari perkawinan orang tua di akte kelahiran. Hal itu sebaiknay mendapat pertimbangan, agar tidak ada labelisasi pada anak. Misalnya anak yang lahir dari perkawinan tidak sah, kain siri. Seharusnya anak tidak usah mendapat label seperti itu. Itu adalah maslah intern antara ayah dan ibu. Tetapi bahwa dia resmi lahir dari seorang ayah dan ibu, tetap harus dicantumkan. Banyak kasus seperti itu.

Yang mengemuka saat ini adalah kasus mayang sari dan bambang tri. Sempat waktu itu tidak mau dikeluarkan aktenya. Itu bertentangan dengan UU perlindungan anak. Setiap anak berhak untuk mendapat akte kelahiran dan itu didapatkan dengan Cuma2.

Jadi kalau ada UU sebelumnya yang mengatur bahwa tidak bias dan sebagianya, maka harus tunduk pada undang2 yang terbaru.

Tentang penanganan anak paska bencana?

Harus dibentuk trauma centre dimana anak mendapat treatmen psikologis agar anak2 kembali kepada dunia yang sebelumnya yang indah, penuh dunia bermain, kreatif, aktifitas konstruktif.


Ada kesibukan, pembentukan diri yang positif. Hal ini akan menyembuhkan anak dari luka2 jiwa itu. Banyak terjadi di Yogya, saya temukan anak yang stress. Ketika saya bercerita lucu, ada anak yang pandangannya datar, hampa, kosong, menerawang jauh. Itu adalah korban bencana yang perlu ditangani secara serius.

Kami punya tim relawan yang bertugas untuk membantu penanganan korban bencana. Kelompok dolanan, mengembalikan anak2 kepada dunianya.



Berminat jadi menteri urusan anak?

Sama sekali tidak. Saya bukan politisi, birokrat, saya tetap sebagai praktisi di lapangan. Tukang ngemong anak saja. Tapi saya akan memberikan masuka, saran, dan kritikan terhadap lembaga ini kalau belum optimal. Yang saya tuntut adalah lembaga ini bahwa ini penting. Tidak usah jauh2, di Australia ada departemen of children and youth affair. Menunjukkan mereka peduli terhadap pembinaan anak2.

Saat ini yang terjadi di pisah. Di depsos ada direktur anak, depkes ada juga, meneg PP ada juga. Di setiap lini ada urusan anak, tetapi akhirnya sendiri2, tidak terpadu jadinya. Kalau ada apa2 mungkin akhirnya jadi lepas tanggung jawab. Kalau anak jalanan, depsos dong. Putus sekolah, depdiknas dong. Anak busung lapar, depkes. Pekerja anak, depnaker. Jadi saling lepas tanggung jawab neh.

Ini semua diuslukan oleh kongres anak. Yang pesertanya ada buruh anak, artis, anak jalanan, anak berprestasi, anak yang dilacurkan. Mereka bersuara bersama. Mereka bersama banyak yang menjadi korban ketidakpedulian orang tua, pemimpin bangsa, dan lainnya. Karena nasib mereka menjadi terkoyak-koyak.

Juga mendesak kepada media massa untuk menghentikan berbagai tayangan berbau pornografi, kekerasan, ataupun satanic. Itu adalah suara hati nurani seluruh anak2 di seluruh
Indonesia. Saying, belum ada respond an reaksi.



Apa akan dimunculkan lagi isu itu pada kongres tahun ini?

Wah saya tidak tahu. Itu kan urusan anak2. kita tidak boleh intervensi. Sepenuhnya itu hak anak, tidak boleh diintervensi, tidak boleh rekayasa. Sepenuhnya adalah hak anak2 untuk merekomendasi apapun juga yang mereka lihat di lapangan.

Pekerja sex anak jumlahnya?

Jumlahnya 30-40 persen dari seluruh jumlah pekerja sex di Indonesia adalah anak2 di bawah 18 tahun. Kemudian kaum pedhofili mancanegara menganggap Indonesia adalah surga bagi kaum pedhofili. Terlalu mudah, tidak ada perlindunagn.

Padahal pasal 83 dari UU perlindungan anak menjerat 15 thn penjara dan waktu 2002 komnas bekerja sama dengan kementrian pariwisata mencanangkan gerakan nasional “stop eksploitasi seksual komersial pada anak di lingkuangan pariwisata. Karena pada waktu itu bali dan batam termasuk yang paling tinggi. Ornag2 luar, ksarnya, mencicipi daun muda, mereka dating ke
Indonesia.

Seharusnya ada upaya tegas, seperti dalam penanganan narkoba, hukum mati. Hubungan sex dengan anak melanggar UU, 15 tahun. Hal itu pernah dilakukan di mantan diplomat
Australia, mr tony, kena 12 tahun. Akhirnya bunuh diri di penjara. Tapi akhirnya agak mulai menurun. Sekarang agak naik lagi. Karena mungkin kampanyenya, sosialisasinya kurang. Harus diingatkan bahwa tidak dibenarkan melakukan hubungan sex dengan anak, walaupun dilakukan mau sama mau, tapi jika dilakukan orang tua tetap melanggar UU dan terkena 15 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lamborghini Reventon Roadster

Ferrari F12berlinetta